Sebagai sebuah subkultur fashion yang tumbuh dan besar dari komunitas, perkembangan skena sneaker Indonesia tidak lepas dari gencarnya kampanye-kampanye bertema “localism”. Munculnya konsep distro di awal tahun 2000-an merupakan episode perdana munculnya subkultur sneaker di Indonesia. Pergerakan industri fashion sneaker dan streetwear semakin masif membentuk budaya baru sneakerhead yang identik dengan komunitas dan tempat nongkrong.

Awal dekade 2010, skena fashion sneaker dan streetwear semakin lengkap dengan munculnya potensi industri denim yang menunjukkan potensi pasarnya yang besar, sehingga mulailah gelombang kampanye #localpride seiring dengan melonjaknya animo pasar yang sangat tinggi. Pada awal dekade ini pula, pertumbuhan brand lokal baru sneaker semakin meledak dengan mengadu konsep dan siluet desain yang unik dan berani melawan hagemoni merk global yang sebelumnya telah hits di pasar domestik.

Tahun 2015, perkembangan kualitas alas kaki merek lokal semakin baik dengan harga yang menarik. Pada periode ini skenario brand lokal sneaker sudah mendapatkan tempat di pasar domestik. Kampanye #localpride gelombang kedua terus berkembang sedemikian rupa, sehingga budaya sneakerhead hingga saat ini tidak terbatas pada komunitas saja, namun sudah merambah pada semua segmen pasar, umur dan menjadi identitias sehari-hari.

Event-event sneaker yang selama ini terbatas pada komunitas mulai dikenal oleh masyarakat umum yang tertarik mengenal lebih jauh budaya sneaker. Melalui event-event tersebut masyarakat semakin memahami bahwa potensi dalam negeri merek-merek sneaker lokal sangat bagus dan layak dijadikan identitas sehari-hari olah siapa pun dan dimanapun. Termasuk salah satu lompatan penting dalam skenario sneaker Indonesia adalah ketika Presiden Jokowi menggunakan sneaker buatan lokal dari Bandung dalam setiap kesempatan acara kenegaraan. Momentum ini menjadi salah satu timeline penting geliat industri sneaker lokal di Indonesia. Sejak saat itu, trending di masyarakat membicarakan sneaker lokal yang dipakai oleh Presiden.

Bicara data, tahun 2015-2018 merupakan tahunnya bagi sneaker lokal di Indonesia. Meskipun menurut Aprisindo pasar sneaker lokal masih 3%, trend ke depan akan semakin membaik. IKM alas kaki di beberapa sentra di Jawa Barat, Jawa Timur, Baten dan Jakarta banjir order untuk pembuatan sneaker merk lokal. Potret industri alas kaki khususnya sneaker pada periode 2015-2018 lebih dari 80% produksinya dikerjakan bermitra dengan IKM.

Perkembangan sosial media juga menjadi salah satu kunci lompatan industri sneaker lokal pada periode 2010-2018. Kampanye #localpride menjadi lebih sistematis banyak digaungkan oleh para influencer fashion yanag membuat masyarakat tertarik, kemudian menjadi bangaa menggunakan produk dalam negeri dan kahirnya menjadi budaya baru dalam fashion.

Pandemi, memukul seluruh sektor industri pada awal tahun 2019 hingga 2021 tak terkecuali industri alas kaki. Pertumbuhan industri sempat turun hingga 8% pada tahun 2020, dan kembali menunjukkan trend positif dengan pertumbuhan 7% di tahun 2021. Berdasarkan data  dari Aprisindo, nilai produksi turun 70-80% termasuk penyerapan tenaga kerja turun hingga 70% (termasuk di dalamnya industri skala menengah dan kecil). Awal 2022 kinerja industri alas kaki nasional menunjukkan tren positif. Data dari BPS menunjukan pada kuartal pertama tahun 2022, pertumbuhan terhadap PDB industri alas kaki sebesar 7,1 trilyun rupiah dengan nilai ekspor sebesar 1,9 milyar USD.

Pasca pandemi dipastikan landscape industri sneaker berubah. Transformasi industri, supply chain, disrupsi digital, perubahan sosial merubah pola industri alas kaki domestik khususnya sneaker. Tidak seperti periode 2020-2021 dimana hamper seluruh IKM alas kaki pada mode survival, awal tahun 2022 kondisi secara umum telah membaik. Pelajaran berharga saat pandemi, membuat merk-merk lokal melakukan berbagai perubahan untuk bisa bertahan selama pandemi.

Berdasarkan dari data BPIPI, beberapa merk lokal sneaker secara umum mengalami kenaikan omset di kisaran 10—20% dibandingkan saat pandemi. Dengan dibukanya kembali event-eveny offline skenario peningkatan penjualan dan strategi marketing para merk-merk lokal akan semakin gencar secara online dan masif secara offline. Kondisi saat ini menunjukkan, pasca pandemic covid sudah tidak menjadi ancaman, uforia pasar perlu di pahami sebagai potensi yang bisa memberikan nafas baru bagi skena sneaker lokal.

Belajar dari pandemi, berdasarkan data dari BPIPI terjadi pergeseran pasar terutama dalam strategi penentuan harga dan pemasaran. Beberapa merk-merk lokal besar yang selama ini menentukan harga di pada level tinggi (di atas 500 ribu), saat ini cenderung menentukan posisi harga di level menengah bahkan rendah (200 – 400 ribu). Hal ini mengingat potensi pasar pada dengan daya beli di kisaran (100 – 300 ribu) mempunyai volume yang sangat tinggi. Beberapa merk lokal dengan segmen pasar rendah menengah ternyata mempunyai kemampuan mengelola merk dengan sangat baik, sehingga meskipun menjual dengan harga murah namun tetap tidak murahan. Sehingga hal ini menjadi pelajaran menarik bagi beberapa merk-merk lokal yang sebelumnya menyasar daya beli menengah (di atas 500 ribu) perlu banyak belajar mempertahkan citra merk yag tetap positif meski dengan segmen pasar yang sama.

Peran BPIPI dalam ekosistem industri alas kaki khususnya skena sneaker lokal fokus pada (1), penguatan hubungan kemitraan antara merk-merk lokal dengan IKM sebagai mitra utama produksi. IKM sebagai mitra produksi harus memanfaatkan potensi pasar dengan memberikan layanan kualitas proses produksi yang standard dengan harga yang menarik. (2) menjaga ekosistem industri alas kaki dengan memberikan informasi dan pengetahuan bagi merk-merk lokal tentang pentingnya melakukan praktik-praktik bisnis yang berkelanjutan.